MAKALAH
“ KETENTUAN KEWARISAN “
DISUSUN OLEH
KELOMPOK IV
1.
NURLINA MAHSYAR
2.
HERDI YUSUF
3.
MUSTAJAB
4.
RAHMAT HIDAYAT
5.
RAMLAN
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017/2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr,Wb .
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan Rahmat dan hidayahnya sehingga, Alhamdulillah makalah ini dapat kami selesaikan dengan judul materi
tentang “ Ketentuan Kewarisan “. Tak
lupa pula kita kirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW,yang telah
berhasil memperjuangkan agama islam yang mulia ini beserta keluarga dan para
sahabatnya.
Kami juga tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen selaku Mata Kuliah Al Islam Kemuhammadiyaan yang telah
memberikan dan mentrasferkan ilmunya kepada kami dan teman-teman. kami menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini
masih jauh dari kesempurnaan, karena adanya keterbatasan ilmu pengetahuan yang
kami miliki. Namun, demikian kami berharap semoga isi tugas ini dapat
benar-benar bermanfaat bagi kami khususnya, serta para pembaca umumnya.
Selain itu juga kami berharap adanya kritik
dan saran dari para pembaca demi terwujudnya kesempurnaan tugas ini. Kami juga selaku penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak yang membaca makalah ini, Semoga makalah ini bisa bermanfaat.
Wassalamualaikum
Wr, Wb .
Makassar, November 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN
SAMPUL ............................................................. i
KATA
PENGANTAR ............................................................. ii
DAFTAR
ISI ........................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN ........................................................ 1
A.
Latar Belakang ................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah ........................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
......................................................... 3
A.
Hukum Waris Islam Dan
Cara Penyelesaiannya........................ 3
1.
Pengertian Hukum Waris Islam .................................................... .. 3
2.
Sumber Waris Hukum Islam ......................................................... .. 3
3.
Unsur-Unsur Pewarisan Islam ...................................................... .. 6
4.
Syarat Mendapat Warisan
........................................................... 10
5.
Sebab Orang Memiliki Hak Mewarisi Harta ................................ 10
6.
Ahli Waris Dan Bagiannya ........................................................... 13
7.
Hukum Waris Adat ....................................................................... 17
8.
Hijab ............................................................................................. 24
9.
Penyelesaian Kasus ....................................................................... 24
B.
Hukum Perdata Dan
Cara Penyelesaiannya ........................... 25
1.
Pengertian Waris Perdata ............................................................. 25
2.
Sumber Hukum Waris Perdata ..................................................... 26
3.
Unsur-Unsur Pewarisan Perdata ................................................... 27
4.
Harta Warisan ............................................................................... 27
5.
Golongan Ahli Waris ..................................................................... 28
6.
Tidak Patut (Onwardigg) ............................................................. 29
7.
Penyelesaian Hukum Waris
......................................................... 30
8.
Sebab-Sebab Mendapatkan Warisan ............................................ 31
9.
Hak Waris Yang Dinyatakan Gugur ............................................ 32
BAB
III PENUTUP ................................................................ 34
A.
Kesimpulan .................................................................................... 34
B.
Saran .............................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 35
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Permasalahan hukum kewarisan islam
sangat luas dan kompleks, meliputi ruang lingkup kehidupan manusia dan
masyarakat dari persoalan anak yang masih dalam kandungan sampai meninggal
dunia, kematian seseorang membawa pengaruh akibat hukum kepada diri, keluarga
dan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Akibat hukum tersebut meliputi
pengurusan jenazah, pengurusan wasiat, hutang, dan juga peralihan harta warisan
dari pewaris kepada ahli waris. Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga
yakni Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap
daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerababatan yang
mereka anut. Pengertian yang paling luas dari perkataan “benda” ialah segala
sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Disini benda berarti obyek sebagai lawan
dari subjek atau “orang” dalam hukum. Ada juga perkataanbenda itu dipakai dalam
arti yang sempit, yaitu sebagai barag yang data terlihat saja. Ada lagi
dipakai, jika yang dimaksud adalah kekayaan seseorang.
Hukum kewarisan islam merupakan hukum
waris yang wajib di pelajari dan di terapkan dalam setiap pristiwa hukum yang
terjadi di dalam masyarakat terutama mereka yang beragama islam. Namun hukum
waris yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum waris islam tetapi ada pula
hukum waris adat, dan hukum waris perdata. Seiring berkembangnya jaman hukum
waris adat pun sudah jarang di gunakan pada masyarakat urban yang pada umumnya
mereka lebih suka memakai hukum waris islam karna agamanya dan hukum waris
perdata. Di sini pemerintah sangat sulit untuk mengatur unifikasi hukum waris
di Indonesia. Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan
dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Seperti
yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah
dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajibankewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup.
Dari uraian
singkat diatas, nampaklah bahwa sampai dewasa ini di Negara Indonesia masih
terdapat bermacam-macam hukum waris ang semuanya berlaku bagi bangsa Indonesia
menurut ketentuan berlakuna masing-masing jenis hukum tersebut. Sehingga dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia masih
beranekaragam.
Dalam
hukum waris banyak sekali kasus kasus dalam masyarakat yang menjadi masalah
tentang kewarisan islam. Bukan hanya pada pembagian harta waris tetapi juga
dalam pengurusan tirkah. Pada saat ini penulis mempunyai contoh kasus yang ada
dilingkungan penulis.
Kasus posisi: Ari meninggalkan seorang bapak dan seorang ibu
serta seorang kakak bernama Fera. Dia juga memiliki seorang kakek, Paman, Bibi
yang tinggal serumah dengannya. Siapa sajakah yang berhak mewaris harta yang
ditinggalkan berupa rumah seharga 900 juta. Diketahui ari belum menikah. Ari
mempunyai hutang sebesar 16 juta dan pengurusan jenazah ari sebesar 4 juta.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
Permasalahaan sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka dapat ditarik beberapa
pokok masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yakni:
1.
Bagaimana pengaturan
hukum waris islam dan perdata serta cara penyelesaian masalahnya?
BAB
II
PEMBAHASAAN
A.
Hukum Waris Islam dan Cara Penyelesaiannya
1.
Pengertian Hukum Waris Islam
Warisan berasal dari bahasa Arab
al-irts (الإرث) atau al-mirats (الميراث) secara umum bermakna peninggalan
(tirkah) harta orang yang sudah meninggal (mayit). Secara etimologis (lughawi) waris mengandung
2 arti yaitu (a) tetap dan (b) berpindahnya sesuatu dari suatu kaum kepada kaum
yang lain baik itu berupa materi atau non-materi.
Sedang
menurut terminologi fiqih/syariah Islam adalah berpindahnya harta seorang (yang
mati) kepada orang lain (ahli waris) karena ada hubungan kekerabatan atau
perkawinan dengan tata cara dan aturan yang sudah ditentukan oleh Islam
berdasar QS An-Nisa' 4:11-12.
Ilmu
faraidh atau fiqh mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan
harta peningalan dari seorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup,
baik mengenai harta yang ditinggalkanya, orang orang yang berhak menerima harta
tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaianya.[1][8]
2.
Sumber Hukum Waris Islam
Kewarisan islam memiliki sumber-sumber hukum
yang menjadi dalil atau dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut.
Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam Dasar hukum bagi kewarisan
adalah nash atau apa yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah. diantaranya adalah,
sebagai berikut :
a.
Dalil- dalil yang
bersumber dari al-qur’an
“Mereka meminta fatwa kepadamu [tentang
kalalah]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
[yaitu]: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
seluruh harta saudara perempuan, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka ahli waris itu terdiri dari
saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
(176)[2][9]
- Surat Al-Baqarah ayat 240, yang artinya :
“Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu
dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk ister-isterinya (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu
(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf
terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
- Surat Al-Azhab ayat 4, yang artinya :
“Allah
sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya;
dan Dia tidak menjadikan isteri-isteri yang kamu zhihar itu sebagai ibu, dan
Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).[3][2]
b.
Dalil-dalil yang
bersumber dari as-sunnah.
Meskipun Al-Qur’an menyebutkan secara terperinci
ketentuan-ketentuan bagian ahli waris, Sunnah Rasul menyebutkan pula hal-hal
yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, antara lain :
a)
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa
ahli waris laki-laki yang lebih dekat kepada pewaris lebih berhak atas sisa
harta warisan, setelah diambil bagian ahli waris yang mempunyai bagian-bagian
tertentu.
b)
Hadits riwayat Al-Jama’ah, kecuali Muslim dan
Nasa’i, mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak waris atas harta orang
kafir, dan orang kafir tidak berhak atas harta orang muslim.
c)
Hadits riwayat Ahmad menyebutkan bahwa Nabi
memberikan bagian warisan kepada dua nenek perempuan 1/6 harta warisan dibagi
dua.
d)
Hadits riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam
kandungan berhak waris setelah dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai
dengan tangisan kelahiran.
Ijma
dan itjihat para sahabat, imam-imam dan Mazhab dan mujtahid –mujthaid kenamaan mempunai
peranan yang tidak kecil sumbanganya terhadap pemecahan-pemecahan terhadap
masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang sharih. Seperti
pembagian muqasamah (bagi sama) dalam maslah l-jaddu wal-ikhwah (kakek
bersama-sama dengan saudara-saudara), pembagian bagi cucu yang ayahnya lebih
dahulu meninggal dunia dala masalah wasiat wajibah, pengurangan dan penambahan
bagian para ahli waris dalam masalah ’aul dan radd, pembagian tsulultsul baqi
(sepertiga sisa) bagi ibu jika hana bersama baak dan suami atau isteri dalam
masalah gharrawain, dan lain sebagainya.
3.
Unsur-Unsur Pewarisan
Islam
Meskipun dalam kedua
system hukum yang lain unsure warisnya sama, yaitu pewaris, ahli waris, dan
harta waris (hak dan kewajiban), namun dalam penjabaran ketiganya masing-masing
system tersebut berbeda satu dengan yang lainya.
1)
Pewaris
Pewaris yaitu orang
yang saat meninggal atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan
agama, beragama islam, meninggalkan ahli waris, dan harta peninggalan
Syarat beragama islam
ini tidak hanya untuk pewaris saja melainkan juga ahli waris harus memeluk
agama islam. Sebagaimana hadist Nabi S.A.W “orang islam tidak mewarisi dari
orang bukan islam begitu sebaliknya”
2)
Ahli waris
Ahli waris yaitu orang yang pada saatpewaris meninggal
dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama islam, dan tidak terhalang menjadi pewars. Menjadi ahli waris karna
hubungan darah yaitu ayah,ibu,anak,saudara keatas,saudara kebawah,saudara
kesamping dalam hubungan perkawinan yaitu janda atau duda. Ahli waris dikatanan
sebagai agama islam dapat dilihat dari kartu identitasnya, pengakuan, amalanya,
sedangkan baiy baru lahir, tergantung dari pengakuan ibunya.[5][13]
Terhalangnya seseorang
untuk menjadi ahli waris apabila dinyatakan dengan putusan haki yang telah
mempunyai ketentuan hukum tetap, dimana seorang atau seklompok di hukum karena
:
1)
Dipersalahkan tela
membunuh, menganiaa berat pewaris. Sebagaimana hadis Nabi SAW :”barang siapa
membunuh seorang korban tidak berhak wewais dari korban walauun korban tidak
mempunyai ahli waris lain atau korban hanya adalah ayah atau anaknya
2)
Dipersalahkan
memfitnah, telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris melakukan kejahatan diancam
pidana 5 tahun penjara atau lebih berat.
Undang-undang telah menetapkan
tertib keluarga yang menjadi ahli waris yaitu isteri atau suami yang
ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut
undang-undang atau ahli waris abintestato berdasarkan hubungan darah
terdapat empat golongan, yaitu:
a. Golongan pertama
Golongan pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi
anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan
atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan/hidup paling
lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya
suami/isteri tidak saling mewarisi.
Bagian golongan pertama yang
meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta
keturunannya, janda atau duda yang ditinggalkan/ yang hidup paling lama,
masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Oleh karena itu, bila terdapat
empat orang anak dan janda maka mereka masing-masing mendapat hak 1/5 bagian
dari harta warisan.
Apabila salah satu seorang anak telah meninggal dunia lebih dahulu dari
pewaris tetapi mempunyai lima orang anak, yaitu cucu-cucu pewaris, maka bagian
anak yang seperlima dibagi di antara anak-anaknya yang menggantikan kedudukan
ayahnya yang telah meninggal (dalam sistem hukum waris BW disebut plaatsvervulling
dan dalam system hukum waris Islam disebut ahli waris pengganti dan dalam
hukum waris adat disebut ahli waris pasambei) sehingga masing-masing
cucu memperoleh 1/25 bagian. Lain halnya jika seorang ayah meninggal dan meninggalkan
ahli waris yang terdiri atas seorang anak dan tiga orang cucu, maka hak cucu
terhalang dari anak (anak menutup anaknya untuk menjadi ahli waris).
b. Golongan kedua
Golongan kedua adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang
tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka. Bagi
orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan
kurang dari 1/4 bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris
bersama-sama saudara pewaris. Oleh karena itu, bila terdapat tiga orang saudara
yang menjadi ahli waris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu
masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan, sedangkan
separuh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara yang
masing-masing memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah
meninggal dunia maka yang hidup paling lama akan memperoleh sebagai berikut:
1) ½ bagian dari seluruh harta warisan, jika ia menjadi ahli waris bersama
dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan sama saja.
2) 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris
bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris.
3) ¼ bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama-sama
dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya
sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara
pewaris, sebagai hali waris golongan kedua yang masih ada. Namun, bila di
antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada saudara seayah
atau seibu saja dengan pewaris maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua,
bagian yang satu adalah diperuntukkan bagi saudara seibu.
c. Golongan ketiga
Golongan ketiga adalah ahli waris yang meliputi kakek, nenek dan leluhur
selanjutnya ke atas dari pewaris. Ahli waris golongan ketiga terdiri atas
keluarga dari garis lurus ke atas setelah ayah dan ibu, yaitu kakek dan nenek
serta terus ke atas tanpa batas dari pewaris. Hal dimaksud, menjadi ahli waris.
Oleh karena itu, bila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris
golongan pertama dan kedua.
Dalam kondisi seperti ini sebelum harta warisan dibagi terlebih dahulu
harus dibagi dua (kloving), selanjutnya separuh yang satu merupakan
bagian sanak keluarga dari garis ayah pewaris dan bagian yang separuhnya lagi
merupakan bagian sanak keluarga dari garis ibu pewaris. Bagian yang
masing-masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada kakek
pewaris untuk bagian dari garis ayah, sedangkan untuk bagian dari garis ibu
harus diberikan kepada nenek.
Cara pembagiannya adalah harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk
kakek dan nenek dari garis ayah dan satu bagian untuk kakek dan nenek dari
garis ibu. Pembagian itu berdasarkan Pasal 850 dan Pasal 853 (1):
1) ½ untuk pihak ayah.
2) ½ untuk pihak ibu.
d. Golongan keempat
Ahli waris golongan keempat meliputi anggota dalam garis ke samping dan
sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Hal dimaksud, terdiri atas
keluarga garis samping, yaitu paman dna bibi serta keturunannya, baik dari
garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu. Keturunan paman dan bibi sampai
derajat keenam dihitung dari si mayit (yang meninggal). Apabila bagian dari
garis ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam maka bagian
dari garis ibu jatuh kepada para ahli waris dari garis ayah. Demikian pula
sebaliknya.
Dalam Pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: “Apabila ahli waris yang berhak
atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan
jatuh menjadi milik negara, selanjutnya Negara wajib melunasi utang-utang si
peninggal harta warisan sepanjang harta warisan itu mencukupi. Cara pembagian
harta warisan golongan keempat sama dengan ahli waris golongan ketiga, yaitu
harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk paman dan bibi serta keturunannya
dari garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman dan bibi serta keturunannya
dari garis ibu.[6][7]
4.
Syarat Mendapat Warisan Ada Tiga Macam, Yaitu:
a.
Matinya muwaris, baik
mati secara hakiki atau secara hukmi, maka ia dihukumkan mati secara hakiki.
b.
Hidupnya waris setelah
matinya muwaris, walaupun hidupnya secara hukum, seperti anak dalam kandungan,
maka secara hukum ia dikatakan hidup.
c.
Tidak adanya
penghalang untuk memperoleh warisan.
5.
Ada Tiga Sebab Sehingga Orang Tersebut Memiliki Hak Untuk
Mewarisi Harta, Yaitu :
a.
Perkawinan
Perkawinan adalah
perkawinan yang sah menurut syariat Islam, dengan adanya suatu ikatan
perkawinan merupakan ikatan yang dapat mempertemukan seorang laki-laki dengan
seorang wanita dengan suatu rumah tangga, selama perkawinan itu masih utuh
dipandang sebagai salah satu sebab mewarisi, baik setelah keduanya bersetubuh
atau belum. Sebab jika telah terjadi akad nikah maka terjadilah waris mewarisi
diantara mereka, apabila salah seorang meninggal dunia.
b.
Kekerabatan
Kekerabatan adalah
hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi
disebabkan kelahiran, atau yang ada pertalian darah dengan para ahli waris
dengan si mayit. Oleh sebab itu semua kerabat yang disebabkan hubungan darah
baik sebagai asal seperti ayah atau kakek maupun ia sebagai furu’ seperti anak
atau cucu serta dengan cara menyamping seperti saudara, semuanya mereka dapat
mewarisi, disebabkan adanya hubungan nasab dengan yang meninggal.
c.
Wala’
Wala’ (memerdekakan
budak) juga merupakan salah satu penyebab untuk saling mewarisi. Wala’ dalam
wala’ul ‘ataqah atau ushubah sababiyah yaitu ‘ushubah yang bukan disebabkan
pertalian nasab, tetapi disebabkan karena adanya sebab telah memerdekakan
budak.
6.
Tirkah
Tirkah adalah apa-apa
yang ditinggalkan oleh orang yang meniggal dunia yang dibenarkan oleh syariat
untuk dipusakai oleh ahli waris.Apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dunia harus diartikan sedemikian luas. Ulama-ulama Malikiyah,
Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah memutlakkan tirkah kepada segala yang
ditinggalkan si mayit baik berupa harta maupun hak-hak.Baik hak-hak tersebut
hak kebendaan mauaun bukan kebendaan.Dalam hal ini hanya imam Maliki saja yang
memasukkan hak-hak yang tidak dapat dibagi, seprti hak menjadi wali nikah,
kedalam keumumman arti hak-hak.
Sebelum harta
dibagi-bagi kepada para ahli waris, hukum adat meneliti lebih dahulu macam dan
asal harta peninggalan itu apakah merupakan harta masing-masing pihak yang
terpisah satu sama lain atau merupakan harta campuran dari suami dan istri.
Jika harta kekayaan
masing-masing yang diperoleh secara warisan itu hanya dapat diwarisi oleh
anak-anak si mati itu sendiri dan kalau tidak mempunyai anak diwarisi oleh
keluarga yang meninggal,selanjutnya harta yang diperoleh secara hibah atau
dengan hasil usaha sendiri,dapat diwarisi oleh anak istri atau suami yang masih
hidup.[7][18]
Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan yaitu:
a.
Tajhiz
Tajhiz ialah segala
yang diperlukan seseorang yang meninggal dunia ,sejak dari wafatnya sampai pada
penguburannya., seperti: belanja keperluan mayyit, memandikan,
mengkafani,sampai pada mengubur .
b.
Melunasi hutang-hutang
c.
Menurut ibnu Hazm dan
Asyafii, baik mendahulukan hutang pada allah seperti zakat dan kifarat,atas
hutang kepada manusia.
d.
Pelaksanaan wasiat
Hak ketiga yaitu
pelaksanaan wasiat,dalam batas-batas yang dibenarkan syara’tanpa perlu
persetujuan para waris yaitu,tidak lebih dari seper tiga harta
peninggalan,sesudah diambil untuk keperluan tajhiz dan keperluan membayar
hutang ,baik wasiat itu untuk waris ataupun untukorang lain Jika pengambilan
harta untuk pelaksnaan wasiat lebih dari seper tiga,maka diperlukan persetujuan
dari pihak para waris.
e.
Pembagian sisa harta
kepada ahli waris
Pusaka yang dimiliki
oleh para ahli waris apabila masih sisa harta,sesudah diambil keperluan tajhiz
keperluan membayar hutang dan wasiat.Maka sisa itu menjadi harta waris dan
dibagi menurut ketentuan syara’.
6.
Ahli Waris Dan Bagianya
a.
Kelompok ahli waris laki-laki
1.
Anak laki-laki
2.
Cucu laki-laki pancar
laki-laki dan seterusnya kebawah
3.
Bapak
4.
Kakek shaih dan
seterusnya ke atas
5.
Saudara laki-laki
sekandung
6.
Saudara laki laki
sebapak
7.
Saudara laki-laki
seibu
8.
Anak laki-laki saudara
laki-laki sekandung
9.
Anak laki-laki asudara
laki-laki sebapak
10. Paman sekandung
11. Paman sebapak
12. Anak laki-laki paman
sekandung
13. Anak laki-laki paman sebapak
14. Suami
15. Orang laki-laki yang memerdekakan budak
b.
Kelompok ahli waris
perempuan
1.
Anak perempuan
2.
Cucu perempuan pancar
laki-laki
3.
Ibu
4.
Nenek dari pihak bapak
dan seterusnya
5.
Nenek dari pihak ibu
dan seterunya keatas
6.
Saudara perempuan
sekandung’
7.
Saudara perempuan
sebapak
8.
Saudara perempuan
seibuIsteri
9.
Orang perempuan yang
memerdekan budak.
c.
Ashabul furudh
Ashabul Furudh (Zawil
Furudh) adalah bagian-bagian yang telah
ditentukan oleh syariat Islam (al-Qur’an dan Hadits) berkenaan dengan orang
yang mendapatkan harta warisan. Bagian-bagian itu adalah:
1)
Seperdua (1/2)
Para ahli warisnya
adalah 5 (lima) orang, yaitu:
a)
Anak Perempuan,
apabila hanya seorang diri, jika si mati tidak meninggalkan anak laki-laki (QS,
4:11)
b)
Seorang cucu perempuan
dari laki-laki, jika si mati tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki
c)
Seorang saudara perempuan sekandung apabila
seorang diri
d)
Seorang saudara
perempuan, jika hanya seorang diri
e)
Suami, jika tidak ada anak atau susu (QS,
4:12)
2)
Seperempat (1/4)
3)
Para ahli warisnya
adalah 2 (dua) orang, yaitu:
a)
Suami, jika ada anak
atau cucu dari anak laki-laki (QS, 4:11)
b)
Istri seorang atau
lebih, jika si mayit tidak meninggalkan anak atau cucu (QS, 4:12)
c)
Seperdelapan (1/8)
4)
Para ahli warisnya
adalah 1 (satu) orang, yaitu:
o Istri seorang atau lebih, apabila ada anak atau cucu (QS,
4:12)
3)
Sepertiga (1/3)
Para ahli warisnya
adalah 2 (dua) orang, yaitu:
o Ibu, jika si mati tidak meninggalkan anak atau cucu dari
anak laki-laki atau dua orang saudara (QS, 4:11)
o Dua orang atau lebih saudara seibu bagi si mati, baik
laki-laki maupun perempuan (QS, 4:12)
4)
Dua pertiga (2/3)
Para ahli warinya
adalah 4 (empat) orang, yaitu:
·
Dua orang anak perempuan
atau lebih, jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki (QS, 4:11)
·
Dua cucu perempuan
atau lebih dari anak laki-laki, jika mereka tidak ada anak perempuan atau
saudara laki-laki
·
Dua orang saudara
perempuan sekandung atau lebih, jika si mati tidak meninggalkan anak perempuan
atau cucu perempuan dari anak laki-laki atau saudara laki-laki mereka (QS,
4:176)
·
Dua orang saudara
perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada yang tersebut nomor 1, 2 dan 3 atau
saudara laki-laki mereka
5)
Seperenam (1/6)
Para ahli warisnya
adalah 7 (tujuh) orang, yaitu:
·
Ayah, jika si mati
meninggalkan anak atau cucu (QS, 4:11)
·
Ibu, jika si mati
meninggalkan anak, cucu laki-laki atau saudara laki-laki/perempuan lebih dari
seorang
·
Kakek, jika si mati
meninggalkan anak, cucu dan tidak meninggalkan Bapak.
·
Nenek, jika si mati
tidak ada ibu
·
Cucu perempuan dari
anak laki-laki jika bersama-sama seorang anak perempuan
·
Saudara perempuan
seayah atau lebih bila ia bersama-sama saudara perempuan sekandung
·
Saudara seibu baik laki-laki/perempuan,
jika si mati tidak meninggalkan anak, bapak atau datuk .
d.
Ashabah
‘Ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ﻋﺎﺼﺐ yakni ahli waris
yang mendapat harta warisan dengan bagian yang tidak ditentukan.[8][21]
Sedangkan ahli faroid mendefinikan ‘ashabah yaitu setiap orang yang mendapat
seluruh harta jika berada sendirian dan mendapat sisanya setelah Ashabul furudh
mendapat bagian
mereka yang telah ditentukan.[9][22]
Jika ahli waris mayit hanya mereka, maka mereka mengambil semua harta, dan
apabila bersama mereka ini ada ahli waris yang mendapat bagian furudh, maka mereka mengambil sisa harta setelah bagian furudh
diberikan. Namun jika harta tidak
tersisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa.[10][23]Mengenai ashabah nasbiyah rifa’I arief
membaginya menjadi 3 bagian, yaitu :
6)
Ashabah bil Nafsi
Orang-orang yang
mempunyai ahli waris ashabah bil nafsih adalah seluruh ahi waris laki
laki,selain dari pd suami dan saudara laki-laki seibu.
7)
Ashabah bil ghair
Orangorang yang
menjadi ahli waris ashabah bil ghair adalah seorang atau kelompok anak
perempuan bersama atau seklomok anak laki-laki, dan seorang atausekelompok
saudara perempuan dengan seorang atau sekelompok saudara laki-laki, manakala
kelompok laki-laki tersebut menjadi ahli waris ashabah bil nafsih.
8)
Ashabah ma’al ghair
Orang-orang yang
menjadi ahli waris ashabah ma’al ghair adalah seorang atau sekelompok saudara
perempuan baik sekandung maupun sebapak yang mewarisi bersama-sama dengan
seorang atau sekelompok anak eremuan atau cucu perempuan pancar laki laki
manakala tidak ada cucu lakilaki pancar laki-laki, yang menjadikan sebagai ahli
waris ashabah bil ghair.[11][24]
e.
Dzawil arham
Dzawil arham berasal
dari bahasa arab : dzawu dan al-arham semua istilah dzawil arham mempunyai arti
yang luas, yakni mencangkup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan
kekerabatan.[12][25]
7.
Hukum Waris Adat
1. Pengertian
Hukum Waris Adat
Hukum waris
adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan
proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil
dan non materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum
lainnya atas lapangan hukum waris atas lapangan hukum waris dapat diwariskan
sebagai berikut:
a. Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat
yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
b. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap
berkekuatan hukum setelah si pelaku meninggal
c. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus
dilanjutkan oleh ahli waris.
d. Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan
pula bentuk perkawinan turut bentuk dan isi perkawinan.
e. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adpsi, perkawinan
ambil anak, pemebrian bekal/modal berumah-tangga kepada pengantin wanita, dapat
pila dipandang sebagai perbuatan dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti
luas, yaitu penyelenggaraan, pemindah tanganan, dan peralihan harta kekayaan
kepada generasi berikutnya.
Menurut
Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris adat dalam hal ini
dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum watis barat, hukum waris
islam, hukum waris Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Minangkabau,
hukum waris Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya. Jadi istilah hukum waris
adat atau bisa disebut hukum adat waris tidak ada bedanya.
Istilah
waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa
Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum
waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam
hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
Sebagaimana
telah dikemukakan diatas hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis
ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan,
pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat
sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekeyaan dari suatu generasi kepada
keturunannya. Dalam hal ini dapat diperhatikan bagaimana pendapat para ahli
hukum adat dimasa lampau tentang hukum waris adat.[13][9]
Ter Haar
menyatakan:
“...het
adaterfrecht de rechtsregelen, welke betrekking hebben op het boeinde, eeuwige
proces van doorgeven en overgaan van het materiele en immateriele vermogen van
generatie op generatie.”
“...hukum
waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke
abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak
berwujud dari generasi ke generasi.”
Dengan
demikian hukum waris itu mengandung tiga unsur yaitu adanya harta
peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan
adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan
menerima bagiannya.
Soepomo
menyatakan :
“ Hukum adat
waris membuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda barang-barang yang tidak berwujud benda
(immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya.”
Dengan
demikian hukum waris iyu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara
penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari
pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu
dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.
Jadi bukanlah sebagaimana yang diungkapkan Wirjono:
“...pengertian
“warisan” ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.”
Jadi,
warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam masyrakat
yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang
manusia, dimana manusia yang wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah
warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan pada bendanya.
Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akbat dari kematian seorang, sedangkan
Hilman Hadikusuma mengartikan warisan itu adalah bendanya dan penyelesaian
harta bemda seseorang kepada warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia wafat.
Apabila
mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah yang
dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi
jika dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum
pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta
kekayaan kepada ahli waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari
pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris wafat (Jawa, lintiran) dapat terjadi
dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan kepemikan atas
bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.
Hukum waris
adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang
berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari
latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan
masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah
kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan,
keselarasan dan kedamaian didalam hidup.
Hukum adat
waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat
kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: “Hukum waris
adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional
dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal,
parental atau bilateral, walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu
berlaku sistem kewarisan yang sama.
Bangsa
Indonesia yang murni alam fikirannya berazas kekeluargaan dimana kepentingan
hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari sifat-sifat kebendaan dan
mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini nampak sudah banyak
kecenderungan adanya keluarga-keluarga yang mementingkan kebendaan dengan
merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan maka hal itu merupakan
suatu krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan asing yang
menjajah alam fikiran bangsa Indonesia.[14][10]
2. Sifat Hukum
Waris Adat
Jika hukum
waris adat kita bandingkan dengan hukum waris Islam atau hukum waris atau hukum
waris barat seperti disebut didalam KUH Perdata, maka nampak
perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang
berlainan.
Harta
warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai
harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi
menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak
boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada
para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam
atau hukum waris barat.
Harta
warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan
pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak
terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki secara
perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan
dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi:[15][11]
“Tiada
seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima
berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”
Harta
warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai
jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para
anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau
akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat
diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht)
dalam kerukunan kekerabatan.
Hukum waris
adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian mutlak sebagaimana
hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas
bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913
KUHPerdata atau di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’.
Hukum waris
adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar
harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea
kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi
jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak
mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat
menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para
waris lainnya
3. Sistem
Keturunan
Masyarakat
bangsa Indonesia yang menganut berbagai
macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk
kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini
sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam dan
Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini nampak pengaruhnya dalam sistem
pewarisan hukum adat.Secara teoritis sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam
tiga corak, yaitu:
a. Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang
ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya
dari kedudukan wanita didalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung,
Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).
b. Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang
ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya
dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minang kabau, Enggano, Timor).
c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem
keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi
(bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam
pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan
lain-lain)
4. Sistem
Kewarisan
Dilihat dari
orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam
sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan kewarisan
individual. Di antara ketiga sistem kewarisan tesebut pada kenyataannya ada
yang bersifat campuran.
a.
Sistem Kolektif
Apabila para waris mendapat harta peninggalan
yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi
secara perseorangan, maka kewarisan demikian disebut kewarisan kolektif.
Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta
peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan
atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: “ganggam bauntui”).
Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini
terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut “harta pusaka”, berupa
bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti tanah pusaka
tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh Mamak kepala
waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di Ambon
seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa
terhadap tanah “kalakeran” yang dikuasai oleh Tua Unteranak, Haka
Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh
ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.
b.
Sistem Mayorat
Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan
hanya dikuasai anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut
hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus
dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri
sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut “kewarisan mayorat”.
Sistem Individual
Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat
dimiliki secara perorangan dengan “hak milik”, yang berarti setiap waris
berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikannya,
terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian disebut “kewarisan
individual”. Sistem kewarisan ini yang banyak berlaku di kalangan
masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana
diatur dalam KUH Perdata (BW) dan dalam Hukum Waris Islam.[16][12]
8.
Hijab
Hijab adalah
menghalangnya seorang ahli waris yang mempunyai sebab-sebab pewarisan atas ahli
waris, apakah seluruh atau sebagian baik ia dalam keadaan menerima bagian
maupun dalam keadaan terhijab pula.
Hijab, bias merupakan
hijab hirman atau hijab nuqshan yang pertama adalah terhalangnya seseorang
dalam menerima harta peninggalan secara keseluruhan karna adanya orang yang
lebih dekat. Dan yang kedua (hijab nuqshan) adalah terhalangnya seseorang dalam
menerima bagian yang lebih besar kepada bagian yang lebih kecil karena adanya
orang lain yang menjadikan pengurangan tersebut.[17][26]
9.
Penyelesaian Kasus Berdasarkan
Kasus Posisi Diatas
Ari meninggalkan
seorang bapak dan seorang ibu serta seorang kakak bernama Fera. Dia juga
memiliki seorang kakek, Paman, Bibi yang tinggal serumah dengannya. Siapa
sajakah yang berhak mewaris harta yang ditinggalkan berupa rumah seharga 920
juta. Diketahui ari belum menikah. Ari mempunyai hutang sebesar 16 juta dan
pengurusan jenazah ari sebesar 4 juta.
a.
Ahli waris
1)
Ibu
2)
Bapak
3)
Kakak
4)
Kakek
5)
Paman
6)
bibi
yang berhak menerima
waris hanya ibu dan ayah karena ahli waris yang lain terhijab yaitu hijab
hirman.
b.
Pengurusan tirkah
Harta Pribadi – (hutang+pengurusan
jenazah)
920 Juta - (16 juta + 4 Juta) = 900.000.000
c.
Pembagian kepada ahli
waris (pewarisan)
Ibu : ayah
1/3 : 2/3
1.
ayah
2/3
x 900.000.000 = 600.000.000
2.
ibu
1/3 x 900.000.000 = 300.000.000
B.
Hukum Perdata dan Cara Penyelesaianya
1.
Pengertian Waris Perdata
hukum
waris adalah keseluruhan peraturan dengan mana pembuat undang-undang
mengatur akibat hukum dari meninggalnya seseorang terhadap harta
kekayaan,perpindahan kepada ahli waris dan hubungannya dengan pihak ketiga.[18][27]
sedangkan A.Pitlo mendefinisikan hukum waris sebagai
berikut:”hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai
harta kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan kekayaan
yang di tinggalkan oleh si mayit dan akibat dari perpindahan ini bagi
orang-orang yang memperolehnya,baik dalam kubungan antara mereka dengan mereka,
ataupun hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.[19][28]
Jadi
mawaris berarti menggantikan kedudukan orang yang meninggal mengenai
hubungan-hubungan hukum harta kekayaan yang di tinggalkan oleh yang meninggal
kemudian dipindah tangnkan kepada para ahli waris si mayit.[20][29]
2.
Sumber Hukum Waris Perdata
Dalam hukum perdata
mewaris berarti mengganti orang yang meninggal terkait dengan hubungan hukum
harta kekayaan yang berkaitan erat dengan kehendak terakhir orang yang
meninggal tersebut kehendak terakhir inilah yang akan diperhitungkan sebagai
sumber hukum pembagi waris perdata. Berdasarkan kehendak terakhir tersebut,
maka sumber hukum wris dalam hukum perdata dibedakan menjadi :
a.
Hukum waris menurut
ketentuan undang-undang atau serig disebut dengan hukum waris ab instenstato,
artinya hukum waris tanpa testamen atau wasiat. Disebut hukum waris tanpa wasia
karena dasar pengaturan hukum waris berdasarkan undang-undang (KUHPerdata).
3.
Unsur-Unsur Pewarisan Perdata
untuk terjadinya pewarisan, diperlukan adanya unsur-unsur
sebagai berikut:
a.
Adanya
orang yang meninggal dunia(erflater) Orang yang meninggal dunia yaitu orang
yang meninggalkan harta warisan dan disebut: pewaris.
b.
Adanya
orang yang masih hidup(erfgenaam) orang yang masih hidup yaitu orang yang
menurut undang-undang atau testamen berhak mendapatkan warisandari orang yang
meninggal dunia.mereka di sebut: Ahli Waris.
c.
Adanya
benda yang di tinggalkan(erftenis,nalatenschap) benda yang di tinggalkan yaitu
sesuatu yang di tinggalkan oleh pewaris pada saat ia meninggal dunia,yang
disebut harta warisan, ujud harta warisan inibisa berbentik
Activa(piutang,tagihan) atau Pasiva (hutang).[22][31]
4.
Harta Warisan
Menurut kitab
undang-undang hukum perdata yang menjadi objek pewarisan itu tidak hanya harta
kekayaan dari pewaris saja, tetapi juga segala utangnya (ali affandi, 1983 :
55). Jadi harta warisan itu “tidak hanya hal-hal yang bermanfaat saja bagi
mereka, elainkan juga hutang-hutang dari si peninggal warisan, dalam arit bahwa
kewjiban membayar hutang-hutang itu pada hakekatnya beralih juga kepada ahli
waris” (wirjono projdjodikoro, 1976 :19).
Berarti harta waisan
itu bisa berupa active dan atau pasiva. Aktiva bearti sejumlah benda yang nyata
ada dan atau berua tagihan-tagihan kepada pihak ketiga. Pasiva berarti sejumlah
hutang ewaris ang harus di lunas pada pihak ketiga.[23][32]
Menurut ketentuan
pasal 1100 berbunyi “para ahli waris yang telah menerima suatu warisan
diwajibkan dalam hal pembayaran hutang, hibah wasiat dan lain-lain beban,
memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima dari masing-masing
warisan.”
5.
Golongan Ahli Waris
jauh dekatnya hubungan
darah dapat dikelompokkan menjadi (4) empat golongan, yaitu :
a.
Ahli waris golongan I
Termasuk dalam ahli
waris golongan I yaitu anak-anak pewaris berikut keturunannya dalam garis lurus
ke bawah dan janda/duda. Pada golongan I dimungkinkan terjadinya pergantian
tempat (cucu menggantikan anak yang telah meninggal terlebih dahulu dari si
pewaris).
Mengenai pergantian
tempat ini, Pasal 847 KUHPerdata menentukan bahwa tidak ada seorang pun dapat
menggantikan tempat seseorang yang masih hidup, misalnya anak menggantikan hak
waris ibunya yang masih hidup. Apabila dalam situasi si ibu menolak menerima
warisan, sang anak bertindak selaku diri sendiri, dan bukan menggantikan
kedudukan ibunya.
b.
Ahli waris golongan II
Termasuk dalam ahli
waris golongan II yaitu ayah, ibu, dan saudara-saudara pewaris.
c.
Ahli waris golongan
III
Termasuk dalam ahli
waris golongan III yaitu kakek nenek dari garis ayah dan kakek nenek dari garis
ibu.
d.
Ahli waris golongan IV
Termasuk dalam ahli
waris golongan IV yaitu sanak saudara dari ayah dan sanak saudara dari ibu,
sampai derajat ke enam.
6.
Tidak Patut (Onwardigg)
Hal ini ditentukan
dalam Pasal 838 KUHPdt yang dianggap
tidak patut jadi ahli waris, sehingga dikecualikan dari pewarisan adalah
:
a.
mereka yang telah
dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh pewaris;
b.
mereka yang dengan
putusan hakim dipersalahkan karena fitnah telah menjadikan pewaris bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat;
c.
mereka yang dengan
kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiat;
d.
mereka yang telah
menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.
7.
Penyelesaiaan Hukum Waris Berdasarkan Kasus Posisi Diatas.
a.
Kasus posisi :
Ari meninggalkan
seorang bapak dan seorang ibu serta seorang kakak bernama Fera. Dia juga
memiliki seorang kakek, Paman, Bibi yang tinggal serumah dengannya. Siapa
sajakah yang berhak mewaris harta yang ditinggalkan berupa rumah seharga 920
juta. Diketahui ari belum menikah. Ari mempunyai hutang sebesar 16 juta dan
pengurusan jenazah ari sebesar 4 juta.
b.
Ahli waris
1.
Ibu
2.
Bapak
3.
Saudara perempuan
sekandung
4.
Kakek
5.
Paman
6.
Bibi
kakek, paman, bibi
adalah ahli waris golongan ke III maka tidak mendapat hak atas waris dari ari.
Karna masi ada ahli waris golongan II.
c.
Pengurusan harta
Harta Pribadi – (hutang+pengurusan
jenazah)
920 Juta - (16 juta + 4 Juta) =
900.000.000
d.
Bagian para ahli waris
Dalam pasal 854
disebutkan bahwa apabila si pewaris tidak meninggalkan keturunan dan tidak
meninggalkan suami atau istrei, sedang ahli waris hanya ibu, bapak, dan seorang
saudara, maka bagian ibu dan baak masing-masing mendapat 1/3 dan saudara
mendapat 1/3 sisanya. Selanjutnya dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa ibu dan
bapak masing masing mendapat ¼ bagian apabila mereka bersama-sama dengan lebih
dari seorang saudara dan setengah bagian lainya untuk saudara-saudaranya
tersebut.[24][33]
1.
Ayah
1/3 x 900.000.000 = 300.000.000
2.
Ibu
1/3 x 900.000.000 = 300.000.000
3.
Saudara perempuan
(kakak)
1/3 x 900.000.000 = 300.000.000
8. Sebab-Sebab
Mendapatkan Warisan :
- Memiliki Ikatan Kekerabatan Secara Hakiki
(yang ada
ikatan nasab murni atau ikatan darah), seperti kedua orang tua, anak, saudara,
paman, dan seterusnya.
- Adanya Ikatan Pernikahan,
yaitu terjadinya akad nikah legal
yang telah disahkan secara syar'i antara seorang laki-laki dan perempuan,
sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersenggama) antar keduanya.
Adapun pernikahan yang batil atau rusak, seperti nikah mut’ah, kawin kontrak
dan sebagainya tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
- Al-Wala,
yaitu terjadinya hubungan kekerabatan karena membebaskan budak. Orang
yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri
seseorang sebagai manusia yang merdeka. Karena itu Allah SWT menganugerahkan
kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, dengan syarat budak itu
sudah tidak memiliki satupun ahli waris, baik ahli waris berdasarkan ikatan
kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
9. Hak Waris Yang
Dinyatakan Gugur Haknya Apabila :
- Budak.
Seseorang yang berstatus sebagai
budak (yang belum merdeka) tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari
saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi
milik tuannya.
- Pembunuhan.
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak
membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan.
Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.: "Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi
harta sedikitpun." (HR Abu Daud). Juga di dalam hadits lainnya, Rasulullah
bersabda, “Tidak ada hak bagi si pembunuh untuk mewarisi.” (HR Malik, Ahmad dan
Ibnu Majah).
- Berlainan Agama.
Seorang muslim tidak dapat mewarisi harta warisan orang non muslim
walapun ia adalah orang tua atau anak, dan begitu pula sebaliknya.
Hal ini
telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya: "Orang Islam tidak dapat
mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta
orang Islam." (HR Bukhari dan Muslim).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum kewarisan islam merupakan hukum
waris yang wajib di pelajari dan di terapkan dalam setiap pristiwa hukum yang
terjadi di dalam masyarakat terutama mereka yang beragama islam. Namun hukum
waris yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum waris islam tetapi ada pula
hukum waris adat, dan hukum waris perdata. Seiring berkembangnya jaman hukum
waris adat pun sudah jarang di gunakan pada masyarakat urban yang pada umumnya
mereka lebih suka memakai hukum waris islam karna agamanya dan hukum waris
perdata. Di sini pemerintah sangat sulit untuk mengatur unifikasi hukum waris
di Indonesia.
Dalam hukum waris islam bahwa dari
semua ahli waris yang ada dalam kasus tersebut yang berhak menerima waris hanya
ibu dan ayah dan dibagikan dua banding satu. Karena ahli waris yang lain
tertutup hijab hirman. Namun dalam hukum kewarisan perdata yang berhak menerima
waris adalah ibu, ayah, dan kakak perempuan sebagai saudara sekandung karna
ahli waris yang lain merupakan ahli waris yang hubunganya lebih jauh dan masih
ada ahli waris yang lebih dekat.
B.
Saran
Dalam kasus-kasus waris yang terjadi
dimasyarakat banyak sekali kevariasianya. Sebagai ahli hukum kita harus
memahami dan mempelajari hal-hal tersebut. Agar tidak ada kesalahan saat
penghitungan suatu permasalahaan kewarisan dan tidak ada ahli waris yang
dirugikan karnanya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Idris Ramulyo, 1992, perbandingan hukum kewarisan islam, pedoman ilmu jaya,
Jakarta.
2.
Suparman Usman,yusuf somawinata, 2008, FIQIH
MAWARIS hukum kewarisan islam, Jakarta, Gama media Pratama.
3.
Subekti, 1994, pokok-pokok hukum perdata, Jakarta,intermasa.
4.
Hilman Hadikusuma, 1995, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
5.
Wiryono Projodikoro, 1983, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur.
6.
Drs.H.suparman
usman, ,1990, ikhtisar hukum waris menurut KUH
perdata B.W, serang, darul ulum press.
7.
Otje Salman, 2006, Hukum Waris Islam,
Bandung, Aditama.
8.
Badriyah Harun, 2009, panduan praktis pembagian waris, pustaka yustisia,
Jakarta.
9.
Teuku M.Hasby Asydieqy , 1999, fikih mawaris, Semarang :Pustaka Rizki Putra.
10.
Direktorat jendral kelembgaan agama islam, Ilmu Fikih, IAIN Jakarta.
11.
Muhammad bin Shahil al-‘Utsaimin, 2009, Panduan Praktis Hukum Waris,
(Bogor, Pustaka Ibnu Katsir.
12.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, 2010, Ilmu Hukum Wris Menurut ajaran Islam, (Surabaya,
Mutiara Ilmu)
13.
Suhrawardi K.Lubis, 2007 Hukum Waris
Islam ( Jakarta,Sinar Grafika)
[14][10] Amanat, Anisitus, 2000, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum
Perdata BW, Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.